Senin, 19 November 2012

Relativitas waktu

Relativitas Waktu

Kini, relativitas waktu adalah fakta yang terbukti secara ilmiah. Hal ini telah diungkapkan melalui teori relativitas waktu Einstein di tahun-tahun awal abad ke-20. Sebelumnya, manusia belumlah mengetahui bahwa waktu adalah sebuah konsep yang relatif, dan waktu dapat berubah tergantung keadaannya. Ilmuwan besar, Albert Einstein, secara terbuka membuktikan fakta ini dengan teori relativitas. Ia menjelaskan bahwa waktu ditentukan oleh massa dan kecepatan. Dalam sejarah manusia, tak seorang pun mampu mengungkapkan fakta ini dengan jelas sebelumnya.Tapi ada perkecualian; Al Qur'an telah berisi informasi tentang waktu yang bersifat relatif! 

Sejumlah ayat yang mengulas hal ini berbunyi:

"Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu." (Al Qur'an, 22:47)

"Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu." (Al Qur'an, 32:5)
"Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun." (Al Qur'an, 70:4)

Dalam sejumlah ayat disebutkan bahwa manusia merasakan waktu secara berbeda, dan bahwa terkadang manusia dapat merasakan waktu sangat singkat sebagai sesuatu yang lama:

"Allah bertanya: 'Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka menjawab: 'Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman: 'Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui'." (Al Qur'an, 23:122-114)

Fakta bahwa relativitas waktu disebutkan dengan sangat jelas dalam Al Qur'an, yang mulai diturunkan pada tahun 610 M, adalah bukti lain bahwa Al Qur'an adalah Kitab Suci.


http://www.keajaibanalquran.com/physics_relativity.html

Orang buta tidak buta lagi… “Aku ingin melihat dunia!”


Itulah jeritan teman-teman kita yang menderita karena kehilangan fungsi indera penglihatannya. Mata merupakan organ tubuh yang sangat penting. Begitu pentingnya sehingga ada ungkapan bahwa melalui mata kita dapat melihat kepribadian seseorang.  Eye is the window to the soul! Banyak yang menyatakan bahwa mata tidak pernah bisa berbohong.  Mata benar-benar merupakan jendela untuk melihat ke dalam diri dan jiwa  manusia. Dan bukan itu  saja, Mata juga merupakan jendela yang memungkinkan kita bisa melihat berbagai keindahan dunia ini. Lalu bagaimana kalau indera penglihatan kita itu rusak? Hilang jugakah harapan kita untuk terus menikmati warna-warni dunia?

Mata kita menjalani serangkaian proses untuk dapat melihat. Proses ini mirip dengan proses yang terjadi dalam sebuah kamera saat digunakan untuk memotret. Gelombang cahaya masuk melewati sejumlah lensa kamera yang kemudian memfokuskan gambar yang kita  potret serta memproyeksikannya ke permukaan film. Pada mata kita, yang berfungsi sebagai film adalah retina. Saat mata kita melihat suatu benda, mata kita menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda tersebut. Cahaya masuk melalui lensa mata yang memfokuskan gambar dan memproyeksikannya ke retina yang terletak di belakang (Gambar 1). Retina merupakan lapisan sel-sel yang sangat sensitif terhadap cahaya. Bagian retina yang dapat menerima dan meneruskan detil-detil gambar disebut macula. Macula tersusun dari lapisan-lapisan sel yang dapat mengubah energi cahaya menjadi impuls elektrokimia. Informasi ini kemudian dikirim ke syaraf optik yang akan meneruskannya ke otak yang kemudian memprosesnya sehingga dapat mengenali gambar tersebut. Itulah cara kita melihat sesuatu. 

Sel-sel yang menyusun retina pada mata kita terdiri dari sel-sel berbentuk batang (rod), kerucut (cone), dan sel-sel ganglia. Total sel yang berbentuk batang dan kerucut bisa mencapai jumlah 125 juta sel. Semuanya berfungsi sebagai sensor cahaya atau  photoreceptor. Rasio perbandingan  rod dan  cone bisa mencapai 18 banding 1 (rod lebih banyak dari cone). Rod merupakan sel-sel yang paling sensitif karena walaupun hanya ada sedikit cahaya (misalnya hanya ada satu partikel foton) sel-sel ini masih tetap dapat mendeteksinya. Sel-sel ini juga dapat memproduksi gambar hitam-putih tanpa memerlukan banyak cahaya. Cone baru berfungsi saat ada cukup  cahaya, misalnya saat siang hari atau saat kita sedang menyalakan lampu yang terang di dalam ruangan.  Cone berfungsi untuk memberikan kita detil-detil obyek beserta warnanya. Informasi-informasi yang diterima sel-sel  rod dan  cone ini kemudian dikirimkan ke sel-sel ganglia (ada sekitar satu juta sel) dalam retina. Ganglia inilah yang kemudian mengartikan informasi tersebut dan mengirimkannya  ke otak dengan bantuan syaraf optik. 

Gangguan penglihatan umumnya disebabkan rusaknya fungsi  rod dan  cone.Kerusakan ini dapat berakibat buta sebagian sampai buta total. Kerusakan photoreceptor ini (biasanya keturunan) disebut  Retinitis Pigmentosa (RP). RP dapat terjadi pada usia dini. Gangguan  penglihatan lainnya yang juga sering terjadi adalah menurunnya fungsi macula disebabkan usia tua atau dikenal sebagai Age-related Macular Degeneration  (AMD).  Photoreceptor yang mengalami degenerasi ini adalah retina bagian  luar dan retina bagian dalam pada  macula. Setelah diteliti ternyata RD dan AMD sama sekali tidak menyebabkan kerusakan pada ganglia maupun syaraf optik. Yang terserang hanya rod dan cone. Ini berarti bahwa jika kita bisa mengembalikan fungsi rod dan cone (sebagai photoreceptor) para penderita RD dan AMD masih memiliki harapan untuk bisa melihat kembali. Untuk mengembalikan fungsi rod dan cone ini kita memerlukan suatu alat tambahan yang bisa mengambil alih kerja  rod dan  cone. Ini berarti kita harus mengembangkan rod dan cone sintetik (buatan manusia) yang dapat dimasukkan ke retina sehingga dapat kembali  mendeteksi cahaya yang masuk. Jika  rod dan cone buatan ini berfungsi dengan baik, sel-sel ganglia yang masih tetap sehat tersebut bisa terus menjalankan fungsinya bersama syaraf optik untuk meneruskan informasi yang didapatkan oleh  photoreceptor buatan itu ke otak. Penderita RP dan AMD yang tadinya buta sebagian ataupun buta total bisa mendapatkan penglihatannya kembali. Padahal RP dan AMD merupakan penyebab utama
kebutaan di negara-negara berkembang. Sekitar 30 juta penduduk dunia menderita RP dan AMD. Sampai saat ini belum ditemukan cara untuk menyembuhkan kerusakan sel-sel photoreceptor pada penderita RP dan AMD ini. 

Pada tahun 1988 Dr. Mark Humayun berhasil mengejutkan dunia saat ia menunjukkan bahwa seorang yang buta dapat melihat cahaya saat sel-sel ganglia pada retinanya diberi rangsangan listrik.  Ini berarti bahwa sel-sel ganglia benar-benar masih sehat dan dapat berfungsi dengan normal walaupun  photoreceptor sudah rusak. Jadi walaupun kita masih belum bisa menemukan cara untuk menyembuhkan kerusakan sel-sel tersebut, kita masih dapat memberikan harapan bagi para penderita RP dan AMD untuk dapat melihat lagi dengan bantuan alat buatan yang bisa mengkonversi cahaya menjadi pulsa listrik. Saat ini sudah ada dua macam alat berupa  microchip yang sedang dikembangkan. Yang pertama adalah  Artificial Silicon Retina (ASR), dan yang kedua adalah  Artificial Retina Component Chip (ARCC). ASR merupakan  microchip yang bentuknya seperti koin mungil dengan diameter 2 mm.  Microchip yang terbuat dari silikon ini lebih tipis dari sehelai rambut manusia. Ukuran mikroskopik ini sangat penting karena  chip mungil ini harus bisa diselipkan pada  retina tanpa merusak bagian-bagian lain pada mata.

Ada dua syarat lain yang juga sangat penting dan harus dipenuhi chip mungil ini.Yang pertama adalah harus tersedianya sumber tenaga yang kontinu (terus-menerus) supaya chip dapat terus berfungsi dan mengembalikan penglihatan. Pada ASR sumber tenaganya berasal dari  cahaya (misalnya cahaya matahari) yang masuk ke mata. Dengan demikian  chip ini tidak lagi membutuhkan peralatan tambahan sebagai sumber energinya. Syarat yang kedua,  chip ini harus cocok dengan jaringan-jaringan lain yang terdapat di mata (harus bersifat biocompatible) sehingga tidak menyebabkan terjadinya penolakan yang bisa berakibat fatal.Untuk dapat memasang  chip ini para dokter bedah mata harus membuat sayatan kecil di lapisan retina bagian luar (Gambar 2) pada daerah macula. ASR kemudian dimasukkan sebagai implant di sayatan tersebut. ASR mengandung sekitar 3.500 sel mikroskopik yang bisa berfungsi seperti rod dan cone. 

ARCC merupakan  microchip yang juga terbuat dari bahan silikon yang sangat mirip dengan ASR. Luas permukaan  chip ini sekitar 2 mm2, dengan ketebalan 0,02 mm. ARCC mengandung sel-sel  photoreceptor yang langsung aktif saat ada cahaya yang masuk ke mata.  Chip ini dipasang sebagai  implant dibagian atas retina (tidak di tengah-tengah lapisan  retina seperti ASR). Kedua alternatif  microchip ini sama-sama menjanjikan kembalinya penglihatan, setidaknya kemampuan untuk melihat hitam dan putih (bukan detil warna). Chip mana pun yang dipilih oleh penderita  yang tadinya sudah hampir kehilangan penglihatannya pasti dapat membantu mengembalikan harapan mereka untuk
kembali melihat dunia. 

(Yohanes Surya)

Einstein: Newton forgive me….




Itu kata-kata Einstein saat teori yang  dihasilkannya ternyata berhasil menggulingkan teori Isaac Newton, seorang fisikawan legendaris, yang teorinya dipercaya oleh dunia sebelum munculnya teori Einstein yang mengobrak-abrik semuanya. Albert Einstein membuat heboh dengan Teori Relativitas Khusus (The Special Theory of Relativity) yang ditelorkannya pada tahun 1905. Sebentar lagi, teori yang pernah mengagetkan dunia ini akan merayakan ulang tahunnya yang ke-100! Perayaan seabadnya (Centenary) teori si jenius Albert Einstein ini bisa dilihat dari ramainya majalah-majalah ilmiah yang mulai membahas kembali teori yang sudah mengguncang dunia selama seratus tahun ini. Tahun 2005 bahkan dicanangkan sebagai The World Year of Physics untuk mengenang kebesaran Einstein. Apa sih istimewanya teori ini? Koq seluruh dunia begitu heboh merayakan kelahirannya ini? Yuk, kita ikut dalam gosip seru tentang apa yang menjadi dasar lahirnya teori ini...
Seorang ahli matematika dari Perancis, Jules Henri Poincaré, pernah mengajukan perumpamaan berikut. Di suatu malam, kita sedang asyik tidur dengan lelap di tempat tidur kita yang nyaman. Tiba-tiba seluruh jagad raya mengembang sehingga ukurannya menjadi seribu kali lebih besar dari ukuran semula. Seluruh jagad raya ini maksudnya semua benda di bumi dan di luar bumi, mulai dari benda-benda mati sampai semua jenis makhluk hidup, termasuk kita sendiri yang sedang lelap tertidur. Karena kita sedang asyik bermimpi, kita tidak menyadari kejadian ini. Sewaktu kita terbangun di pagi harinya, apa kita bisa merasakan bahwa semuanya sudah menjadi lebih besar? Apa kita bisa merasakan perbedaannya? Kalaupun kita diberi tahu bahwa ada kejadian menghebohkan tersebut saat kita tertidur, apakah ada yang bisa membuktikannya? Pasti kita tidak merasakan perbedaan apa pun walaupun seluruh jagad raya kini sudah berubah ukurannya. Ini karena semuanya ikut berubah sehingga tidak ada satu pun yang bisa dijadikan patokan untuk mengukur terjadinya perubahan tersebut. Karena itu, kita juga tidak mungkin bisa membuktikan bahwa seluruh jagad raya ini kini telah menjadi seribu kali lebih besar. Semua terlihat sama. Lain halnya jika hanya tubuh kita yang tiba-tiba menciut menjadi sangat kecil (ingat film fiksi Honey, I Shrunk the Kids!), sedangkan seluruh jagad raya tetap pada ukurannya semula. Tidak ada satu pun yang berubah ukuran kecuali tubuh kita sendiri. Wah, sudah pasti kita langsung panik karena kita bisa langsung merasakan perbedaan itu. Kita langsung tahu apa yang terjadi karena kita bisa melihat bahwa sekeliling kita tiba-tiba tampak seperti raksasa. Baju yang kita pakai tiba-tiba kedodoran, dan cincin yang biasa melingkar manis di jari kita tiba-tiba tampak seperti lingkaran raksasa yang berat dan menyeramkan karena hampir jatuh menimpa tubuh kerdil kita itu. Tetapi, apakah itu berarti bahwa tubuh kita yang mengecil, atau sekeliling kita yang tiba-tiba membesar? Hmm... bingung juga ya!
Bagaimana cara kita menentukan mana yang besar dan mana yang kecil? Apakah planet bumi yang kita tempati ini bisa disebut berukuran besar? Kalau dibandingkan dengan ukuran bola basket yang biasa kita mainkan di sekolah, tentu saja planet bumi ini tampak seperti bola raksasa yang sangat besar! Tetapi kalau kita bandingkan dengan matahari, planet bumi ini termasuk kecil! Jadi, yang mana yang benar? Besar atau kecil? Tidak ada yang benar, dan tidak ada yang salah! Itulah letak permasalahannya. Ukuran tidak bisa dinyatakan secara absolut. Untuk mengukur sesuatu kita perlu sesuatu yang lain sebagai perbandingannya. Ini berarti bahwa ukuran (orang fisika lebih senang menyebutnya sebagai: Length) selalu bersifat relatif, tidak ada yang mutlak berukuran besar ataupun kecil.
Sekarang kita coba lihat kasus lain. Masih ingat cerita si Kancil yang gesit dan lincah? Kancil bisa berlari sangat cepat. Tunggu dulu! Apa benar kancil itu cepat? Kalau dibandingkan dengan siput, sudah pasti si kancil terlihat sangat cepat. Kalau dibandingkan dengan juara olimpiade pun kancil masih terlihat sangat cepat. Tetapi kalau kita bandingkan dengan pesawat terbang, tentu saja si kancil jadi terlihat begitu lambat. Apa ini berarti pesawat terbang itulah yang cepat? Tidak juga! Kalau kita lihat roket yang meluncur ke luar angkasa, kita bisa langsung tahu bahwa roket itu jauh lebih cepat dari pesawat terbang biasa. Ini berarti, kecepatan pun merupakan sesuatu yang relatif. Kita juga bisa membuktikan ini saat kita sedang mengantar saudara kita yang akan pergi ke luar kota naik kereta api cepat. Sewaktu kereta mulai meluncur, kita melihat saudara kita itu melesat dengan cepat. Tetapi di dalam kereta itu sendiri, orang yang duduk di sebelah saudara kita itu melihat bahwa saudara kita itu duduk diam dan tenang di sebelahnya. Jadi, bagi kita yang sedang berada di luar kereta yang sedang meluncur itu, saudara kita memang terlihat bergerak dengan cepat. Tetapi bagi semuanya yang ada di dalam kereta, ia terlihat sedang diam. Jadi, waktu (Time) tidak mempunyai nilai absolut, sama seperti ruang (Space). Semuanya harus selalu dibandingkan dengan sesuatu yang bisa dijadikan patokan. Misteri inilah yang diutak-atik oleh otak jenius Einstein sehingga melahirkan teori relativitasnya yang terkenal itu. Semua hal yang tampak sebagai sesuatu yang absolut ternyata merupakan sesuatu yang relatif.
Ada dua postulat dalam teori relativitas khusus ini. Yang pertama menyatakan bahwa semua hukum fisika yang berlaku di bumi, berlaku juga di seluruh jagad raya. Yang kedua menyatakan bahwa kecepatan cahaya di ruang hampa selalu konstan (sekitar tiga ratus juta meter per detik, atau sering ditulis dalam bentuk kerennya: 3.108 meter per detik). Postulat yang kedua ini menunjukkan bahwa bagaimanapun cara kita mengukurnya, kecepatan cahaya tidak pernah berubah. Apa pun patokan yang kita gunakan untuk mengukur kecepatan cahaya, di mana pun posisi kita saat mengukur, dan berapa pun kecepatan kita (apakah kita sedang bergerak atau sedang duduk diam) saat mengukur, kecepatan cahaya selalu konstan. Ini menunjukkan bahwa kecepatan cahaya merupakan satu-satunya yang bersifat absolut. Postulat yang pertama pun menyatakan bahwa kondisi ini selalu berlaku di mana pun juga. Ini berarti, jika kita mengukur kecepatan cahaya di galaksi lain, kita tetap mendapatkan hasil yang sama, yaitu tiga ratus juta meter per detik!
Postulat-postulat Einstein ini ternyata memberi dampak besar bagi dunia. Ia pernah mencoba menjelaskan efek yang dihasilkan dari teorinya ini dalam perumpamaan berikut. Misalnya ada sebuah kereta yang sedang meluncur cepat. Si A sedang duduk dengan tenang dalam salah satu gerbong kereta itu. Si B sedang berdiri diam di luar kereta dan mengamati kereta yang meluncur di depannya itu. Sewaktu gerbong kereta yang dinaiki si A meluncur tepat di depannya, tiba-tiba ada kilat menyambar di dua tempat yang berbeda. Kilat pertama menyambar 100 meter di sebelah kanan B, sedangkan kilat yang satunya lagi menyambar 100 meter di sebelah kiri B. Saat kedua kilat menyambar, posisi A tepat di depan B. Karena si B sedang berdiri diam di luar kereta yang sedang meluncur, si B melihat kedua kilat itu menyambar pada saat yang bersamaan. Tetapi lain halnya dengan si A. Si A yang sedang berada di dalam kereta yang meluncur cepat (ke arah kanan si B) melihat kedua kilat menyambar satu per satu. Kilat yang pertama terlihat lebih dulu, beberapa saat kemudian baru kilat yang kedua terlihat oleh A. Padahal jarak A terhadap kilat pertama dan kedua sama dengan jarak B terhadap kedua kilat itu. Perbedaan ini disebabkan bedanya kerangka acuan A dan B (frame of reference). Si A sedang ‘meluncur’, sedangkan si B sedang berdiri ‘diam’. Karena si A sedang bergerak menuju kilat yang pertama, tentu saja kilat yang pertama itu terlihat lebih dulu. A bergerak menjauhi kilat yang kedua, sehingga kilat yang kedua tampak menyambar sesudah kilat yang pertama. Bagi si B yang sedang diam dan tidak mendekati maupun menjauhi kedua kilat itu, keduanya tampak menyambar pada waktu yang bersamaan. Yang mana yang benar? Keduanya benar! Tidak ada yang salah. Karena itulah ini dinamakan relativitas. Semua bergantung pada kerangka acuan yang digunakan. Dan apa pun kerangka acuannya, hukum-hukum fisika yang sama selalu berlaku (postulat 1). Sekarang jika si A dan si B sama-sama diminta untuk menghitung kecepatan cahaya, apa hasilnya akan berbeda? Tidak! Walaupun si A sedang bergerak dan si B sedang diam, keduanya akan mendapati bahwa kecepatan cahaya tetap tiga ratus juta meter per detik.
Ada konsekuensi dari teori relativitas ini. Yang paling terkenal adalah mulurnya waktu dan kontraksi panjang. Mulurnya waktu, atau bahasa kerennya Time Dilation, ini maksudnya bahwa jika suatu jam bergerak dengan kecepatan tertentu, waktunya akan memuai (mulur). Misalnya ada seorang astronot yang membawa jam tangannya saat menjalankan misi ke luar angkasa. Pesawat luar angkasa yang membawanya meluncur sangat cepat. Jika kita, yang berada di bumi, punya teropong yang sangat sensitif dan bisa melihat ke dalam pesawat yang sedang meluncur cepat itu, kita bisa menggunakan teropong itu untuk mengintip jam tangan si astronot. Sebelum si astronot berangkat kita sudah menyesuaikan jam tangan itu dengan jam tangan yang kita gunakan di bumi. Aneh, di jam tangan si astronot yang sedang meluncur di luar angkasa itu koq lebih lambat dibanding jam tangan kita di bumi? Padahal sebelum ia berangkat kedua jam sudah dicocokkan dan si astronot tidak mengubahnya sama sekali sejak keberangkatannya itu. Jarum detiknya tampak bergerak lebih lambat dibanding jarum detik di jam tangan kita. Inilah yang disebut dengan waktu yang mulur saat bergerak pada kecepatan tinggi. Semakin besar kecepatan gerak suatu benda atau partikel, waktu akan berjalan semakin lambat bagi benda atau partikel tersebut! Tentu saja hal ini tidak dirasakan oleh si astronot. Menurut si astronot, jam tangannya tidak berubah kecepatannya, yang berubah justru kecepatan jam tangan kita di bumi yang tampak bergerak lebih cepat. Hal ini disebabkan segala sesuatu di dalam pesawat astronot bergerak lambat termasuk proses metabolisma tubuh, getaran atom dan sebagainya.
Kontraksi panjang juga berkaitan dengan perbedaan kecepatan. Misalnya si astronot agak lelah, lalu mulai berbaring di tempat tidur yang sudah disediakan di pesawat luar angkasanya. Dengan teropong yang sama, kita bisa mengintip si astronot yang tidur berbaring itu. Aneh, sewaktu berbaring koq si astronot tampak lebih pendek? Sewaktu ia masih di bumi dan pesawatnya belum berangkat, ia tampak tinggi. Lebih aneh lagi, sewaktu ia sudah terbangun lagi dari tidurnya dan kembali berdiritiba-tiba ia kelihatan tinggi seperti biasa. Tetapi ia juga kelihatan lebih kurus saat berdiri! Ada apa ini? Apa ia menyusut sewaktu sedang tidur? Tentu tidak!  Karena ia sedang berada dalam pesawat yang meluncur cepat, saat ia tidur kita melihat panjang tubuhnya menciut (terjadi kontraksi panjang). Saat ia berdiri, kita melihat lebar tubuhnya menciut (juga merupakan kontraksi panjang). Ia sendiri tidak merasakan perubahan apa-apa di dalam pesawat. Nah, inilah serunya teori relativitas!
Tunggu dulu! Ada yang lebih seru lagi dari ini. The Twin Paradox. Apa itu? Misalnya kita pergi ke ruang angkasa menggunakan pesawat yang meluncur sangat cepat menjauhi bumi, dan kemudian kembali lagi ke bumi sepuluh tahun setelah pesawat lepas landas. Bagi kita yang berada di pesawat itu, kita hanya pergi selama satu tahun saja (karena adanya time dilation)! Jika kita punya saudara kembar yang menunggu kita di bumi, kita bisa melihat sendiri bahwa saat kita mendarat, kembaran kita (yang lahirnya bersamaan dengan kita) sudah 9 tahun lebih tua dari kita! Ini adalah salah satu akibat dari dilatasi waktu. Aneh tapi nyata!
Teori relativitas khusus ini telah banyak digunakan oleh para fisikawan dalam menelorkan karya-karya hebatnya. Sudah banyak bukti-bukti yang menunjukkan kebenarannya. Inilah hebatnya Einstein! Ia menelorkan teori tersebut murni dari hasil pemikiran otaknya saja, tanpa ada bantuan dari siapapun. Ia tidak pernah berdiskusi dengan siapapun dan tidak pernah menjalankan percobaan apapun untuk mendukung teori ini. Tetapi ternyata teori ini justru terbukti benar saat beberapa fisikawan mencobanya dalam berbagai eksperimen. Teori Einstein yang menelorkan konsep kecepatan cahaya inipun membuat heboh dunia karena bertentangan dengan teori Newton. Menurut Newton, jika sebuah benda yang sedang bergerak akan terus bergerak pada kecepatan sama jika tidak ada gaya lain yang mempengaruhinya. Jika kita memberikan gaya tambahan (secara terus-menerus) pada benda yang bergerak itu, maka gerakannya akan terus dipercepat. Ini berarti kecepatannya terus bertambah sampai pada kecepatan tak hingga, asalkan kita terus memberikan gaya yang dibutuhkan untuk mempercepat benda itu. Einstein langsung menyatakan: “Newton, forgive me…” karena menurut Einstein ini tidak mungkin terjadi! Semakin besar kecepatan yang diinginkan semakin besar pula gaya yang harus diberikan. Untuk mencapai kecepatan cahaya, kita harus memberikan energi dalam jumlah yang tak hingga (infinite). Hal ini tidak mungkin bisa dilakukan karena energi hanya ada dalam jumlah tertentu (finite) sebagai akibat dari Hukum Kekekalan Energi (energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan). Jumlah energi yang tersedia tidak pernah bertambah sehingga kecepatan cahaya tidak mungkin bisa dicapai.
Disamping Teori Relativitas Khusus, Einstein juga mengembangkan Teori Relativitas Umum (The General Theory of Relativity). Dalam teori ini Einstein memperhitungkan pengaruh gravitasi pada cahaya. Einstein menunjukkan bahwa lintasan cahaya akan mengalami pembelokan ketika berada dekat dengan benda-benda luar angkasa yang besar-besar itu.  Tahu nggak, teori ini berhasil lolos ujian yang amat sulit, yaitu ketika menentukan gerakan presesi dari perihelion orbit planet Merkuri.  Kemudian pada tahun 1919 ketika terjadi gerhana matahari total di teluk Guinea, Afrika sekelompok ilmuwan Inggris berusaha membuktikan adanya pembelokan cahaya bintang ketika berada dekat sekali dengan matahari seperti yang diramalkan oleh Teori Relativitas Umum Einstein. Para astronomer memfoto berbagai posisi suatu bintang tertentu ke arah matahari dan kemudian mengulangi 6 bulan kemudian. Ternyata ramalan Einstein benar! Saat itu Einstein menjadi sangat terkenal. (***)


(Yohanes Surya)

Berjalanlah bersama fisika





Seperti apa rasanya berjalan di bulan? Mungkin orang yang paling tahu jawabannya adalah Neil Armstrong dan Buzz Aldrin yang berhasil mendarat di permukaan bulan pada tahun 1969. Dari rekaman peristiwa bersejarah ini terlihat bahwa mereka tidak tampak seperti melangkah di bulan, tetapi justru lebih menjurus pada bouncing (seakan memantul di permukaan bulan tanpa pernah bergerak maju). Hal ini sebenarnya sudah diramalkan oleh Giovanni Cavagna, seorang fisiolog dari University of Milan, sejak tahun 1964. Apakah ini berarti bahwa manusia sebenarnya tidak dapat melangkah atau berjalan di bulan? Di lain waktu, Cavagna mengemukakan bahwa melangkah di bumi justru membutuhkan lebih banyak usaha (lebih susah) dibandingkan melangkah di tempat-tempat lain yang memiliki gravitasi relatif lebih kecil dari gravitasi bumi. Walaupun terdengar saling bertolak belakang, kedua pernyataan Cavagna sebenarnya dapat dijelaskan menggunakan konsep-konsep Fisika Biomekanika. 
Dalam salah satu percobaannya, Cavagna menggunakan sebuah pesawat Airbus A-300 sebagai sebuah laboratorim fisika raksasa yang dipenuhi dengan berbagai peralatan ilmiah. Sebuah pendulum diayunkan pada kecepatan konstan saat pesawat berada pada ketinggian 30.000 ft. Sementara itu, rekan Cavagna, Norman Heglund, berjalan bolak-balik sepanjang lintasan 10 ft dengan kecepatan tetap pula. Tiba-tiba pesawat mengubah arah terbangnya sehingga hampir vertikal ke atas. Selama kurang lebih 20 detik ruangan pesawat berada pada keadaan tanpa gravitasi (zero gravity) sehingga Cavagna dan Heglund terlihat seperti melayang/mengapung di udara seakan tidak memiliki massa (weightless). Pilot pesawat kemudian mengatur posisi sehingga tingkat gravitasi dalam ruangan menjadi 40% dari gravitasi normal di bumi (0,4g). Keadaan ini sangat mirip dengan kondisi gravitasi di planet Mars. Saat itu pendulum terlihat berayun dengan sangat lambat, seakan membuat lintasan melingkar yang sangat panjang, sementara Heglund masih berjalan melangkah bolak-balik dengan langkah-langkah panjang dan kecepatan sangat lambat. Ini merupakan simulasi melangkah di planet Mars. Heglund merasakan bahwa usaha yang dikeluarkan untuk melangkah pada keadaan 0,4g jauh lebih kecil dari melangkah di permukaan bumi, seakan tanpa beban, tetapi dengan kecepatan yang jauh lebih kecil pula.
Untuk menghemat energi, manusia melangkah dengan menggunakan prinsip gerakan pendulum. Pendulum mengubah energi gerak yang mengayunnya menjadi energi potensial gravitasi, dan sebaliknya (gerakan harmonik sederhana). Pada titik terendah (titik pusat kesetimbangan), pendulum mencapai kecepatan maksimum sehingga energi kinetiknya, EK = ½mv2, mencapai nilai tertinggi, sementara energi potensialnya mencapai nilai terendah. Pada titik tertinggi kecepatannya menjadi 0 (berhenti sesaat), tetapi energi potensialnya, EP = mgh, mencapai maksimum. Di titik ini pendulum mengubah energi potensialnya menjadi energi kinetik sehingga pendulum kembali memiliki kecepatan dan bergerak jatuh menuju titik kesetimbangannya. Di titik ini energi kinetik yang sudah mencapai maksimum dikonversikan kembali menjadi energi potensial sehingga pendulum bergerak terus menuju titik tertingginya, dan seterusnya. Konversi energi kinetik menjadi energi potensial, dan sebaliknya, tidak mencapai 100% (tetapi mendekati 100%) karena adanya gesekan dengan udara dan tali yang mengikatnya yang menyebabkan terjadinya hilang energi sehingga lama-kelamaan pendulum akan berhenti berayun dan diam pada titik kesetimbangannya.
Manusia meniru konsep ini untuk berjalan dan melangkah, tetapi gerakan yang dilakukan manusia merupakan sistem pendulum yang tidak sempurna karena konversi energi hanya mencapai 65% (hilang energi mencapai 35%). Ini berarti bahwa manusia membutuhkan pasokan energi (dari makanan) untuk menggantikan energi yang hilang tersebut. Inilah yang menyebabkan usaha yang dibutuhkan untuk berjalan di bumi menjadi lebih besar (lebih susah).
Hilang energi yang terjadi disebabkan aktivitas otot-otot kaki yang saling berkontraksi untuk mengadakan penyesuaian terhadap perubahan kekuatan dan arah energi saat melangkah. Pada saat kaki menyentuh permukaan tanah, terjadi gerakan memutar ke dalam (pronate). Gerakan ini meregangkan otot kaki sehingga bersifat seperti pegas yang berusaha beradaptasi dengan permukaan tanah dan menghindari terjadinya patah tulang akibat tumbukan antara kaki dengan tanah. Saat kaki terangkat kembali dari tanah, terjadi gerakan memutar keluar (supinate) yang menyebabkan tegangnya otot-otot kaki sehingga bersifat seperti pengungkit kaku yang dapat mendorong kaki lepas dari permukaan tanah.   Kontraksi pada otot-otot kaki ini membutuhkan energi panas yang diambil dari energi yang seharusnya dikonversikan dari energi kinetik ke energi potensial dan sebaliknya.
Pada saat berjalan di bulan maupun di Mars, energi potensial manusia menjadi sangat kecil karena gravitasi yang sangat kecil pula. Kecepatan optimum dicapai saat energi kinetik sama besarnya dengan energi potensial gravitasi. Karena energi potensial menjadi 40% (di Mars) dari energi potensial manusia di bumi, maka energi kinetiknya pun menjadi kecil sehingga kecepatan optimum menjadi semakin kecil. Di permukaan bulan, dengan gravitasi hanya 0,17g (energi potensial hanya 17% dari energi potensial di bumi), manusia hanya bisa berjalan dengan kecepatan yang sangat kecil sehingga pergerakan maju hampir tidak terlihat (seperti bouncing di tempat), tetapi usaha yang dibutuhkan menjadi sangat kecil karena hilang energinya sangat kecil (dapat diabaikan). Sebaliknya, jika manusia melangkah di permukaan dengan gravitasi yang lebih besar dari gravitasi bumi (misalnya pada 1,5g), kecepatan optimum yang dapat dicapai menjadi sangat besar sehingga manusia bisa berjalan sangat cepat tetapi langkah-langkahnya terasa sangat berat, bahkan terasa seakan jatuh ke depan. Keadaan ini dianalogikan dengan manusia yang berjalan di bumi sambil membawa beban seberat setengah berat badannya sendiri.
Ternyata strategi untuk melangkahkan kaki sangat sederhana, sesederhana gerak ayunan sistem pendulum yang diaplikasikan dalam Fisika Biomekanika. (***)



(Yohanes Surya)




Senin, 12 November 2012

Manusia Bisa Berjalan Di Atas Air

Selama ini berjalan di atas air menjadi kisah penuh keajaiban yang hanya bisa dilakukan oleh berilmu tinggi. Sebutlah misalnya pendekar-pendekar wushu dengan ilmu meringankan tubuh, atau yang tercatat di kitab suci umat Kristen misalnya Nabi Isa, atau Yesus beberapa kali menunjukkan mukjizat ini.

Dari segi ilmiah, sebenarnya siapa pun bisa berjalan di atas air. Bagaimana caranya? Yang dibutuhkan hanyalah cairan non-Newtonian. Cairan ini bersifat membentuk kepadatan di atas cairan di bawahnya, sehingga benda yang ada di atasnya akan mengapung walau berat jenisnya lebih besar.
theinnerlady.wordpress.com
Cairan non-Newtonian bisa dengan mudah dibuat dari campuran tepung maizena dan air. Sebagai percobaan, isi mangkuk dengan air lalu tuang campuran tepung maizena tadi. Saat kita mendaratkan pukulan keras ke atasnya, ajaib... kita tidak bisa menembusnya. Namun, kalau pelan-pelan memasukan jari ke dalam mangkok, maka kita bisa menembus tanpa kesulitan.

Hal ini pernah diuji coba di Arthurs Middle School di Trenton, Michigan. Sekelompok siswa, guru, dan orang tua murid membawa tepung maizena dan mencampur ke atas air. Dilaporkan, ada sekitar 500 kg tepung dituang ke atas kolam. Setelah selesai, anak-anak bebas berlarian, menari, melompat tanpa tenggelam.

techeblog.com
Eksperimen ini sempat populer di Amerika dan tampil di acara Ellen DeGeneres (host:Steve Spangler). Di studio disiapkan kolam kecil berisi larutan tepung maizena. Lalu seorang wanita dari penonton mencoba berjalan di atasnya. Luar biasa, ia tidak tenggelam.